Oleh:
Prof.Dr.KH.Abdul Ghofur (pengasuh pondok pesantren sunan drajat) banjaranyar paciran lamongan
FIKSI
| 16 October 2011 | 13:20
Pagi yang sangat terang, sedikit
berkabut, dan langit merah masih menyelimuti ufuk Timur. Lembah pasir yang luas
itu masih tidur, dan sesekali riak-riak angin kecil menghamburkan butiran pasir
kecil. Pasir-pasir itu semakin beterbangan tinggi mengepul seperti badai pasir,
diikuti suara tapak kuda yang sangat kencang sekali. Rombongan kuda itupun
berhenti di depan istana.
Raja Rum menyambut dengan hormat
sekali. Diantara rombongan itu ada seseorang yang tinggi, kurus, berjambang
tebal agak putih. Berjalan paling depan. Ia memberi salam kepada Raja Rum. Dia
merunduk memberikan hormat, demikian juga raja merunduk memberi hormat tidak
lebih dari perkiraan hormatnya. Rajapun mengajak memasuki ruang utama. Keduanya
berjalan sejajar. Seorang wali, ulama, dan maha guru yang sangat terkenal.
Namanya Syekh Subakir, diikuti beberapa cantrik. Keluarga kerajaan, para
punggawa, dan abdi kerajaan mengantarkan mereka ke ruang pertemuan raja-raja.
Raja dari Aceh pernah memasuki ruang itu minta bantuan meriam raksasa untuk
menaklukkan kerajaan Malaka.
Ruang pertemuan yang sangat angker.
Ketika raja-raja Romawi menguasai ruang itu, banyak sekali nyawa mati sia-sia.
Raja duduk diatas tahtanya didampingi 12 patih. Tidak jauh dari Raja duduk
seorang ulama terpilih, Syekh Subakir, dan beberapa cantrik syekh yang
dipercaya. Semua duduk melingkar bertatap satu kepada Raja Rum.
Sekitar sebulan lalu raja
menceritakan pengiriman tentara khusus ke tanah Jawa. Semua utusan dan binatang
unggas yang di kirim ke tanah Jawa mati terbakar. Raja menceritakan juga,
penduduk Jawa yang ‘nyiluman,’ mereka dikuasai oleh para belis, hantu, dan jin
prayangan karena dendam para dewa yang dieluk-elukkan oleh penduduk Jawa sendiri.
Mereka sengaja menciptakan mahluk baru di tanah Jawa yang disebut dengan
jin-jin prayangan, dan mahluk seperti kita tidak boleh memasukinya.
Mendengar cerita ini, Syekh Subakir
memejamkan mata sejenak, demikian juga para cantrik.
Sebentar kemudian Syekh mendesah dan
membuka wasiatnya, “Wahai Raja ! Tanah Jawa sudah dikuasai oleh hantu. Mereka
sangat kokoh dan kuat. Kita tidak bisa memasuki tanah Jawa tanpa bekal yang
kokoh. Para penduduk Jawa seperti dihujani tumbal agar menjadi hantu, tidak terlihat,
dan menjadi budak hantu di alamnya. Mereka sengsara, kesakitan, dan merintih
memohon pertolongan dari Dzat Yang Maha Kuasa.”
“Apakah Syekh memiliki tumbal yang
bisa mengimbangi kekuatan tumbal mereka !”
Syekh tersenyum, “Atas kehendak
Tuhan Yang Maha Perkasa, kami akan berusaha mengimbangi kekuatan itu.”
“Terserah bagaimana baiknya menurut
Kanjeng Syekh, kami percaya semua upaya jimat atau tumbal yang hendak dibuat
Kanjeng Syekh dan Cantrik mampu mengalahkan penguasa Jawa.”
Para ulama, ke-12 patih, Syekh, dan
para Cantrik segera mempersiapkan tumbal. Tumbal yang dimaksud adalah kekuatan
doa yang dimasukkan ke dalam media tertentu, dengan cara-cara tertentu,
menggunakan Asma Allah lantaran Kekuatan-Nya.
Pada hari itu mereka menyatukan
kekuatan antara Syekh, Cantrik, ulama dan para abdi yang bisa dipercaya
melakukan ritual bersama. Syekh yang memberikan konsep dan aturan main, dan
bersama-sama memohon izin kepada Yang Maha Kuasa sesuai aturan yang diberikan
Syekh Syubakir. Kekuatan itu bahu membahu membuat jimat [1])
untuk mengalahkan jimat yang dikuasai oleh hantu-hantu yang Penguasa tanah
Jawa.
Seperti delegasi pertama, Raja Rum
mengirimkan 2 laksa jodoh. Hitungan jumlah tidak ditentukan. Masing-masing
jodoh dibuatkan jimat untuk keselamatan masing-masing. Hewan Unggas, mamalia,
dan jenis lain juga dibuatkan jimat di tubuh mereka. Agar ketika menginjakkan
kaki di tanah Jawa sudah memiliki perlindungan dari serangan hantu yang
menguasai tanah Jawa.
Syekh Subakir dan para Cantrik yang
dipercaya, juga membuat jimat untuk menetralkan karakter bumi Jawa. Bumi Jawa
yang sudah dipola oleh para hantu agar tidak bisa dihuni oleh manusia, dengan
jimat-jimat jahatnya, juga memerlukan jimat lain. Syekh membuat jimat khusus
yang berisi doa-doa, yang dimasukkan ke dalam media tertentu seperti
manusianya, dan kelak akan dimasukkan ke dalam tanah di seluruh zona penting di
wilayah Jawa.[2]
) Khususnya gunung-gunung Jawa mulai dari Banyuwangi, Tengger, Malang, Ngawi,
Sampurna, dan sampai gunung di Pajajaran. Masing-masing gunung di tanah Jawa
sudah dideteksi oleh Syekh, dan membuat jimat atau tumbal sesuai dengan jumlah
gunung yang ada.
Raja Rum dan ke-12 patih
mempersiapkan delegasi yang dipimpin oleh tiga pemimpin sesuai bidangnya
masing-masing. Upacara pemberangkatan dilakukan oleh Raja Rum dan ke-12 patih.
Kapal-kapal besar dipersiapkan. Memuat manusia berjodoh-jodoh, hewan-hewan
Unggas atau Mamalia, semua dikendalikan oleh tiga pemimpin besar. Tidak lupa
jimat-jimat untuk masing-masing keluarga, hewan, sudah ditempelkan di tubuh
mereka sesuai petunjuk Syekh. Juga tumbal-tumbal untuk menaklukkan karakter
bumi Jawa dan gunung-gunung yang ada di tanah Jawa. Semua sudah siap menandingi
kekuatan tumbal yang dibuat para hantu gentayangan di bumi Jawa.
Teriring doa kepada Sang Maha Kuasa,
Sang Raja melepaskan kepergian tiga kapal besar yang dipimpin oleh Patih
Bungsu, Ki Sentono, dan Syekh Subakir. Badan kapal mulai melepaskan pantai, dan
melaju perlahan mengarungi samudera, melawan ombak dan memecahkan segala
rintang samudera.
[1] ) Dalam
wacana kultur islam Jawa, istilah jimat berasal dari kata Jamak, artinya
kumpulan . Maksudnya kekuatan jauhar doa dikumpulkan dan dimasukkan ke media
tertentu, ini namanya jimat. Jimat itu mengandung kekuatan tertentu sesuai
karakter doa yang disisipkan ke media yang dibuatnya.
[2] ) Dalam
kajian purbakala, para arkelog sering menemukan situs-situs di wilayah yang
berbeda tentang perkembangan islam, selalu ditemukan beberapa makam tua.
Penduduk setempat selalu menyebut makam tersebut dengan makam dowo
(Jawa=panjang). Yang membingung bagi para arkeolog, kenyataan fisik makam tidak
dowo (panjang), ada yang panjang dan ada yang pendek, namun penduduk setempat
menyebut dengan makam dowo.
Menghadapi
fenomena situs seperti ini, Penulis pernah berbicara dengan seorang Kyai (Prof.
Dr. KH Abdul Ghofur pemangku Pondok Pesantren Sunan Derajat Lamongan) tentang
maksud Makam Dowo, rupanya Kyai saya juga pernah menyelidiki apa isi
makam dowo. Beliau memastikan penyebutan makam dowo oleh penduduk
dengan menggali situs. Ternyata hasilnya, itu bukan makam. Tidak ada mayat,
bangkai, tulang atau indikasi-indikasi yang menunjukkan pernah dihuni oleh
jasad manusia. Didalamnya hanya berisi tumpukan batu yang sudah ditata rapi
oleh yang membuat. Beliau pun mentranslitkan maksud Makam Dowo, bukanlah
makam (kuburan), melainkan makam adalah tempat doa. Lidah Jawa menyebut kata
“Doa,” dengan logat “Ndonga,” maka lama-kelamaan ter-translitkan menjadi dowo
sesuai dengan logat Jawa. Jadi menurut beliau, makam dowo bukan makam
panjang, melainkan doa. Doa yang dimaksud adalah tinggalan doa (jimat) yang
dibuat Syekh Subakir. Doa tersebut dimasukkan media dan ditanam disebut tumbal
atau jimat di tanah Jawa untuk mengalahkan hantu atau demit yang menguasai
tanah Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar